Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Imam-imam qurra’ yang berjumlah tujuh atau biasa disebut dengan
imam qira’ah sab’ah adalah para Imam qurra’ yang paling
masyhur diantara para Imam qurra’ yang lain. Diantara ketujuh imam itu
ada salah satu imam qira’ah yang paling banyak diikuti bacaannya. Beliau
adalah Abu Bakar Ashim bin Abi An-Najud atau yang lebih dikenal dengan nama
Imam Ashim. Imam Ashim berasal dari Kufah dan pernah berguru pada Imam Abu
Abdurrahman As-Sulami yang merupakan murid dari Sahabat Ali bin Abi Thalib.
Imam Abu Abdurrahman juga belajar Al-Qur’an dari Zurr bin Hubaisy yang
merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud.
Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur sahabat Ali bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs). Sedangkan sanad yang berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan kepada Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama yang masyhur pada masa tabi’in banyak yang pernah berguru kepada Imam Ashim, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’ bin Abi Rabah. Diantara murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah yang paling masyhur dan menjadi perawi utama.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama pada musim-musim haji.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-bacaan yang dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs diantaranya adalah : Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, Naql, Badal dan Shilah
Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs dengan Imam qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :
1. Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz أَمَالَ yaitu
أَمَالَ – يَمِيْلُ – إِمَالَةً yang artinya
memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu memiringkan
fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’. Bacaan imalah
banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada
lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: الضُّحٰى قَلٰى، سَجٰى، هُدَى, . Sedangkan pada riwayat
Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca imalah yaitu pada
lafadz مَجْرٰىهَا dalam QS. Hud: 41 :
وَقَالَ ارْكَبُواْ
فِيْهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرىٰهَا وَمُرْسٰهَآ ۚ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ
رَّحِيمٌ
Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah,
yaitu bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy.
Khususnya pada lafadz yang berwazan فَعلى،
فِعلى، فُعلى, namun bacaan taqlil
lebih mendekati fathah seperti halnya bunyi suara “re” pada kata
“mereka”.
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “مَجْرٰىهَا” diantaranya adalah untuk membedakan
antara lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya berjalan di darat dengan lafadz “مَجْرٰىهَا”
yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan
bahwa lafadz “مَجْرٰىهَا” berasal dari lafadz “جَرٰى” yang artinya berjalan atau mengalir dan
lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun
berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut
(air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil
dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “مَجْرٰىهَا”
tersebut di-Imalahkan.
2. Isymam
Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan bibir atau
mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat
pada lafadz “لَا تَأْمَنَّا” yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah
seperti halnya mengucapkan lafadz “لَا تَأْمَنُنَا” sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi
antara mengucapkan lafadz “لَا تَأْمَنَّا” dengan mengucapkan “لَا تَأْمَنُنَا”.
Dengan kata lain, asal dari lafadz “لَا تَأْمَنَّا” adalah lafadz “لَا
تَأْمَنُنَا”. Kalau diteliti
lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun yang
bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak dammahnya?sehingga untuk
mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan
mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti lafadz asal.
Dalam qira’ah
imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan sebutan idgham
kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup lalu
melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni
mengidghamkan dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa,
bahwa lafadz “لَا تَأْمَنَّا” dapat difahami berasal dari lafadz “لَا
تَأْمَنُنَا” yang terdapat dua
nun yang diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang
kedua dinashabkan. Nun yang pertama dirafa’kan karena
termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil nawashib”
maupun jawazhim.
3. Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz سُكُوْتًا يَسْكُتُ - سَكَتَ – yang artinya diam, tidak
bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah
berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS.
Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.
Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya sudah
sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz
عِوَجًا,
sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila
dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz قَيِّمَا
sehingga arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.
Lafadz قَيِّمَا bukanlah menjadi sifat/na’at dari
lafadz عِوَجًا, melainkan menjadi hal atau maf’ul bihnya lafadz
lafadz عِوَجًا. Apabila lafadz قَيِّمَا menjadi
na’atnya lafadz عِوَجًا akan mempunyai
arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta
lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih
akan menjadi : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok,
melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy,
kata قَيِّمًا dinashabkan sebagai hal
(penjelas) dari kalimat وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا , sedang Az-Zamakhsyari berpendapat
bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa ” جَعَلَهُ “.
Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata قَيِّمًا itu badal mufrad dari badal jumlah “وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا “. Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan
(ibtida’) dari قَيِّمًا, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal)
dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan
maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: مِنْ مَرْقَدِنَا سكتة هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ. Menurut Ad-Darwisy lafadz هٰذَا itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ . Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan
lafadz هٰذَا itu na’at dari مَرْقَدِ,
sedangkan مَا sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حق atau هٰذَا. Dari
segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut sama-sama tepat.
Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan
dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat
tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini
pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama
benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan
malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz مَنْ dalam
QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan lafadz بَلْ dalam QS. Al-Muthafifin: 14
pada kalimat بَلْ سكتة رَانَ adalah untuk menjelaskan fungsi مَنْ sebagai kata tanya dan fungsi بَلْ sebagai penegas dan juga untuk memperjelas idharnya lam dan
nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’
seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz مَنْ
dan بَلْ dalam kalimat مَنْ سكتة رَاقٍ dan بَلْ سكتة رَانَ mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan)
dengan waqaf saktah.
Di samping itu, Imam
Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada akhir QS. Al-Anfaal:75
dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa dipakai untuk memilah dua
surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-Taubah tidak terdapat atau diawali
dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah: 28-29 dimaksudkan untuk membedakan
dua ha’ yakni ha’ saktah مَالِيَهْ dan
ha’ fi’il هَّلَكَ.
4. Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau menyederhanakan
hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ah artinya
membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44
وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا۟ لَوْلَا فُصِّلَتْ
اٰيٰتُهُۥٓ ۖ ءَاَعْجَمِىٌّ وَعَرَبِىٌّ ...
Alasan lafadz ءَاَعْجَمِىٌّ dibaca tashil, karena apabila
ada dua hamzah qatha’ bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan
orang Arab merasa berat melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan
(diringankan).
5. Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz نَقَلَ –
يَنْقِلُ – نَقْلًا yang artinya memindah, sedangkan menurut istilah ilmu
qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf sebelumnya. Dalam qira’ah
Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu lafadz بِئْسَ الْاِسْمُ pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan
dibaca naql pada lafadz الْاِسْمُ adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu
yang mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila
disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk
memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.
6. Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal
disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah
lainnya. Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut
Imam Ashim riwayat Hafs yaitu :
1. Badal ء dengan ي (فِي السَّمٰوٰتِ
ائْتُوْنِيْ)
Yaitu mengganti hamzah
mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat mengganti
hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan jatuh
sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (ى). Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4,
…أَمْ لَهُمْ شِرْكٌۭ فِى
ٱلسَّمٰوٰتِ ۖ ٱئْتُونِى بِكِتَٰبٍۢ…
Cara membacanya, yaitu
apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ ۖ)
maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (فِى ٱلسَّمٰوٰتْ ۖ
اِيْتُونِى ) sedangkan apabila
dibaca washal tidak ada perubahan.
2. Badal ص dengan س (وَيَبْصُۜطُ dan بَصْۜطَةً )
Yaitu mengganti shad
dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim mengganti ص dengan س pada
lafadz وَيَبْصُۜطُ dalam QS. Al-Baqarah : 245
dan lafadz بَصْۜطَةً dalam QS. Al-A’raf : 69.
Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada kedua lafadz
tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu بَسَطَ – يَبْسُطُ.
Sedangkan pada lafadz بِمُصَيْطِرٍ dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ص tetap dibaca shad karena sesuai dengan
tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan menyesuaikan sifat ithbaq
dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
Adapun pada lafadz ٱلْمُصَۣيْطِرُونَ dalam QS.
At-Thur : 37, huruf ص boleh tetap dibaca shad
dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal lafadznya,
yaitu سَيْطَرَ – يُسَيْطِرُ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
7. Shilah
Menurut ijma’
para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak
diawali dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang
dan perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan
huruf ha’ dlamir tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang
huruf setelah ha’ dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun
para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua
huruf mati yang dipisah oleh huruf lemah (ha’), sehingga mereka membuang
huruf mad dan memanjangkan ha’ dlamirnya, contoh لَهُ، بِهِ,
ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’ dlamir tersebut
diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca pendek, contoh مِنْهُ، إِلَيْهِ.
Dalam qira’ah
Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca panjang
walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat وَيَخْلُدْ فِيْهٖ مُهَانًا dalam QS. Al-Furqan : 69. Pada
masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yakni
membaca shilah ha’ (فِيْهٖ ). Karena diketahui bahwa ha’
termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’
berharakat kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati adalah ya’
dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi فِيْهِي .
Dalam literatur orang Arab sendiri jarang sekali ditemui wawu mati yang
diawali kasrah.
Alasan ha’
dibaca panjang pada lafadz فِيْهٖ dalam QS.
Al-Furqan : 69 adalah untuk mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ـه berasal dari lafadz هُوَ dan
ketika disambung dengan lafadz فِيْ akan
menjadi فِيْهُوَ , namun karena ha’ dlamir tersebut diawali dengan ya’
mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat ha’ perlu
disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa wawu
menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi فِيْهِي dan huruf mad berupa ya’
dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah lafadz فِيْهٖ . Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’
yang terdapat pada lafadz فِيْهٖ dalam QS.
Al-Furqan : 69 adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang
berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang menghendaki
dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.
Ada juga ha’ dlamir
yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu dengan membaca ha’
dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz tersebut
diantaranya terdapat pada lafadz يَرْضَهُ لَكُمْ dalam
QS. Az-Zumar : 7. Alasan dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada
lafadz يَرْضَهُ لَكُمْ dan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.
Lain halnya dengan
lafadz عَلَيْهُ dalam QS. Al-Fath : 10, disini
terdapat ha’ dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’
mati. Hal ini terkait dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya
tentang sifat memenuhi janji setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah.
Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah).
Dan penempatan harakat dammah pada lafadz عَلَيْهُ memberikan
nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan
keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan dan
keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’ dlamir tersebut
disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’ keluhuran).
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang ketika waqaf
(قصر dan مد)
a. Lafadz ( اَنَا )
Sebab-sebab lafadz اَنَا dibaca pendek ketika washal (اَنَ)
kecuali lafadz اَنَابَ, اَنَابُوْا, اَنَاسِيَّ,
الْاَنَامِلَ, adalah karena
fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat seperti halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt).
Disamping itu juga, apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf
dengan sukun, maka suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alif
supaya suara nun tetap sebagaimana asal lafadznya.
Sedangkan tidak
ditambahkannya alif pada waktu
membaca washal pada lafadz tersebut adalah karena nun sudah
berharakat. Ada juga lafadz yang cara membacanya hampir sama dengan lafadz اَنَا yaitu lafadz لٰكِنَّا pada
QS. Al-Kahfi : 38, yakni apabila lafadz لٰكِنَّا dibaca
washal maka nun harus dibaca pendek( لٰكِنَّ
),sedangkan apabila dibaca waqaf
maka nun tetap dibaca panjang (لٰكِنَّا). Hal ini karena lafadz لٰكِنَّا berasal dari lafadz أناdan lafadz لكن.
b. Lafadz الرَّسُوْلَا، الظُّنُوْنَا، قَوَارِيْرَا
Sebagian ulama qurra’
membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat tanwin, sedangkan qira’ah
Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat tanwin pada lafadz-lafadz
tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada lafadz-lafadz tersebut, qira’ah
Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan alif atau dibaca panjang,
sedangkan tidak menyertakan (membaca) alif atau dibaca pendek apabila huruf
terakhir lafadz-lafadz tersebut diwashalkan. Hal ini disebabkan karena
mencantumkan alif pada lafadz-lafadz tersebut adalah mengikuti rasm utsmani
dan juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam sighat muntahal jumu’ yang
termasuk isim ghairu munsharif sehingga tetap mencantumkan alif tidak
ditanwin. Sedangkan lafadz الظنونا، الرسولا، السبيلا walaupun
bukan termasuk jama’, namun lafadz-lafadz tersebut disesuaikan dengan
sya’ir yang pada akhir ba’itnya terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif.
Sehingga lafadz-lafadz tersebut tetap dibaca panjang ketika waqaf dan
dibaca pendek ketika washal.
c. Lafadz مالك pada
QS. Al-Fatihah: 4 dan ملك pada QS. An-Nas: 2
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang)
pada lafadz مالك dalam QS. Al-Fatihah: 4,
sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim
riwayat Hafs membaca dengan alif (panjang) adalah karena ada
kaitannya dengan lafadz مالك الملك pada QS. Ali Imran: 26 yaitu قل اللهم مالك
الملك dan bukan tanpa
alif yaitu ملك الملك juga karena lafadz مالك berarti
dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ملك berarti
tuan atau penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz ملك
الناس (tanpa alif) yang artinya Tuhan manusia dan
hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan يوم الدين .
Jadi, lafadz مالك pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ملك pada QS. An-Nas: 2 tidaklah sama dalam membaca mimnya,
terutama karena perbedaan segi maknanya sehingga dibedakan cara membacanya,
walaupun beberapa Imam qira’ah selain Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua
lafadz tersebut sama-sama pendek ( ملك ).
2. Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada ض dalam
lafadz ضعْف
Lafadz ضعْف pada QS. Ar-Rum: 54 yang
lafadznya dibaca tiga kali pada ayat tersebut adalah merupakan masdar dari
lafadz ضعُف – يضعَف sehingga beberapa Imam
qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu murid Imam
Ashim) membaca dlad pada lafadz ضعْف dengan fathah, sedangkan sebagian Imam qira’ah
yang lainnya dengan dammah.
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ضعْف
dengan fathah dan dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf,
lafadz ضعُف –
يضعَف mempunyai dua masdar yaitu lafadz ضَعْف
dan lafadz ضُعْف, seperti halnya lafadz فقر yang
juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz فَقْر dan
lafadz فُقْر.
Sehingga menurut qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ضعْف boleh dibaca fathah dan boleh dibaca dammah.
3. Rahasia permulaan Surat At-Taubah
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam Mushaf Al-Qur’an rasm usmani, semua permulaan surat diawali
dengan basmalah kecuali surat At-Taubah. Hal ini karena ada beberapa
pendapat yang terkait dengan tidak ditulisnya basmalah pada permulaan
surat At-Taubah. Pendapat pertama, bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab berkata :
Rasulullah saw. pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap
surat dalam Al-Qur’an, dan beliau tidak memerintahkan kami menulisnya di awal
surat At-Taubah. Maka sebab itu, surat tersebut digabungkan dengan surat
Al-Anfal dan hal itu lebih utama karena adanya keserupaan diantara keduanya.
Sedangkan pendapat yang kedua, bahwa Imam Ashim berkata: Basmalah tidak
ditulis di awal surat At-Taubah, disebabkan karena bacaan basmalah itu
berisi tentang rahmat atau kasih sayang, sedangkan surat At-Taubah
merupakan surat tentang azab atau siksaan kepada orang-orang musyrik.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Adapun hukum tentang membaca basmalah pada permulaan surat
At-Taubah diantaranya adalah, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan
membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan memakruhkan membacanya di
tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah
di awal surat At-Taubah dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana
surat-surat dalam Al-Qur’an yang lain.
B. Musykilat
Musykilat adalah bacaan-bacaan yang antara tulisan dengan cara membacanya
berbeda. Hal ini bertujuan agar kita dalam membacanya lebih berhati-hati dan
terhindar dari kesalahan membaca.
Sebab terjadinya perbedaan :
1. Ada huruf yang tertulis tapi dibaca dengan suara atau
bunyi lain
2. Ada huruf dalam kata tertulis tapi tidak dibaca.
3. Ada tandan shifir (bulatan kecil di atas alif) ada 2
yaitu :
a. Shifir Mustadhir ; bulatan kecil di atas huruf
alif yang berada di tengah kata sehingga huruf alif tersebut tidak berfungsi
dan dibaca pendek.
b. Shifir Mustahil : bulatan lonjong kecil di atas
alif yang
berada di akhir kata yang
memiliki fungsi jika waqaf maka dibaca panjang dan jika washol dibaca pendek
Jenis-jenis bacaan musykilat :
1.
Perubahan suara, yaitu suara huruf ص di ganti dengan suara huruf س, ini berada di 3 tempat : QS.Al-Baqarah
ayat 245, QS.Al-A’raf ayat 69, dan QS.Ath-thur ayat 37 (yang ini boleh dibaca
tetap ص atau di ganti dengan س)
2.
Huruf ro’ di baca tebal
Biasanya jika ada Ro’ Sukun didahului dengan harakat
kasrah, maka Ro’ tersebut dibaca tipis, tetapi pada kata-kata tertentu justru
harus dibaca tebal
3. Huruf wawu tidak dibaca
Yaitu terdapat huruf wawu
dalam sebuah kata, tapi tidak dibaca.
Missal : kata ﺻﻠوﻩ, زگوﻩ dan lainnya
4.
“ وا”
dibaca pendek
Yaitu terdapat وا dlam sebuah kata, tapi dibaca pendek, Missal : kata اﻧﺒﻮًا
5.
Harakat “ ﻪ ”
Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa kata yang membacanya
tidak sesuai dengan kaidah penulisannya.
Missal : ﻓﻴﻪ, ﻋﻠﻴﻪ dan lainnya
6.
Nun washol/ nun
iwadl
Adalah jika ada tanwin yang
bertemu dengan hamzah washol, maka cara membacanya suara tanwin harus di ganti
dengan nun kasrah.
Missal : ﺧﻴﺮن اﻟﻮﺻﻴﻪ
7.
Hamzah sukun saat waqaf dan washol
Dalam Al-Qur’an terdapat hamzah sukun yang jika dibaca
setelah waqaf
( ibtida’), maka suara hamzah sukun menjadi suara Ya’
sukun (panjang), namun jika dibaca washol, maka hamzah sukun tidak berubah.
Missal : اﻳﺘﻮﻧﻲ menjadi اﯨًﺘﻮﻧﻲ
Saat washol tidak berubah/tetap اﻳﺘﻮﻧﻲ
8.
"ﺊ
" dibaca pendek
Yaitu terdapatnya ﺊ dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek.
Misal: kata ﺘﻟﻘﺎ ﺊ
, ﻭﺭﺍ ﺊ dan sebagainya.
9.
“ﺃﻭ”
dibaca pendek
Yaitu terdapat
nya dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek
Missal: kata ﺃﻭﻟﻭﺍ, ﺃﻭﻟﺌﻙ dan sebagainya.
10. Huruf alif tidak dibaca
Yaitu terdapatnya huruf alif dalam sebuah kata,tetapi tidak dibaca
Missal: kata ﺠﺎﻱﺀ ,ﺘﺎﻴﺌﺴﻭﺍ
11. "...
ﹶﺍ..." dibaca pendek
Terdapatnya "... ﹶﺍ..." dalam
sebuah kata, tapi dibaca pendek.
Missal: kata ﻤﻼﺌﻪ , ﺍﻔﺎﺌﻥ dan sebagainya.
12. "...
ﹶﺍ
dibaca pendek
Terdapatnya ...
ﹶﺍ dalam
sebuah kata, tapi dibaca pendek.
Missal: kata ﻨﺩﻋﻭﺍ , ﺜﻤﻭﺩﺍ dan sebagainya.
13. "...
ﹶﺍ saat waqof
Terdapatnya ... ﹶﺍ dalam
sebuah kata, saat waqof dibaca panjang
Missal: ﺍﻟﺴﺒﻴﻼ , ﺍﻟﺭﺴﻭﻻ dan sebagainya.
14. "...
ﹶﺍ saat washal
Terdapatnya ... ﹶﺍ
dalam sebuah kata, saat washal dibaca pendek
Missal: ﺍﻟﺴﺒﻴﻼ , ﺍﻟﺭﺴﻭﻻ dan sebagainya.
semoga bermanfaat Amiiin............................